Aku dan Sahabatku - Suasana indah menyelimuti pagi yang cerah, membuat rasaku ingin terus hanyut dalam buaian sang bunga mimpi yang terus memanjakanku. Rasa ini pun tak ingin melepasnya, meskipun hanya sementara. Namun perlahan aku tersadar semua itu hanya akan membawaku dalam harapan-harapan yang tak pasti. Ingin rasanya ku menyambut kehadiran sang mentari pagi dengan segudang harapanku. “Uh!” Akhirnya, meskipun rasa malas terus menyelimutiku.
Namun harapan itu menuntunku
untuk terus beranjak dari tempat tidurku. Berat memang, badanku terasa pegel
dan kepala ini rasanya pusing sekali. Yah kata temen-temen sich aku
kena anemia, tapi ngga’ tahulah ngga’ sempet bahkan mungkin jarang periksa ke
dokter. Mungkin itu hanya hipotesa temen-temenku saja, jadi aku ngga’ terlalu
khawatir.
Walau
akhir-akhir ini kepalaku sering pusing, toh aku masih kuat beraktifitas seperti
biasanya. Ya, memang kalau dipikir-pikir dengan kepala adem, emang bener
manusia itu ngga’ boleh berdiam diri dan males-malesan terlalu lama. Karena kalo
badan ngga’ digerakkan lama-lama badan akan terasa kaku dan penyakit pun
gampang menyelinap ke tubuh. Tapi manusia juga serba salah sich, mau rajin
terus badan terasa capek, ngga’ ngapa-ngapain badan juga pegel.
Emang manusia itu harus punya kerjaan, apapun itu asal ngga’ ganggu kepentingan orang lain. Tapi kalau terlalu cuek dikiranya ngga’ perhatian, githu dech manusia, ngasih perhatian dibilang sok ikut campurlah, ngga’ ngasih perhatian dibilang cuek. “fuh,” cukup panjang juga yach aku ceramah dalam diri.
”Nduk, mbok cepet bangun. Dari tadi kok cuma tiduran terus! Jadi pergi ngga’ sama Mirna?” Tanya Ibuku dari ruang tengah. “ Ya, Bu jadi kok,” Sahutku dengan nada lantang. He... biar ibu mengira aku dah bangun dari tadi.
Segera aku bergegas ke kamar mandi, setelah sebelumnya ku tengok jarum jam di dinding menunjuk tepat angka 7.00. Sehabis sarapan, aku bergegas pergi menuju suatu tempat yang sudah aku janjikan dengan si Mirna sebelumnya.
Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih
setengan jam itu lumayan membuatku jenuh dalam angkutan
********************
Baca juga Cerpen: Keputusan Terakhir
Angin berhembus menembus relung-relung hati, menyejukkan jiwa dan menghapus segala kejenuhan yang sempat ku alami. Pohon-pohon di taman pun menawarkan angin yang segar menyambut kedatanganku.
Taman yang indah yang pernah aku janjikan dengan si Mirna teman sewaktu SMA dulu. Tak sempat ku menunggu, tiba-tiba kudengar suara si Mirna dari belakangku, “Sembilan tahun kita ngga’ pernah ketemu, gimana kabarnya sobat?” tanyanya sambil menepuk pundakku.
Sejenak ku termenung, ternyata dia ngga’ berubah sama sekali, dia masih tetap tomboi kayak dulu waktu sekolah. “Baik, gimana kabarmu sendiri Mir?” ku balik bertanya. “Aku juga baik-baik saja Vit,” jawabnya pelan sambil mengatur tempat duduknya. Tak lama kemudian ia bercerita mengenai kisah perjalanan hidupnya seusai pamitan dari rumahku. Sebuah perjalanan yang sangat melelahkan dan menguras air mata.
Mungkin ini memang ujian terberat bagi seorang anak yatim piatu seperti Mirna, ia harus menanggung beban hidup seluruh sendiri sejak ditinggal pergi keluarganya. Ini dilakukannya untuk tetap bertahan menapaki kerasnya hidup di Kota Metropolitan.
Akupun mulai terhanyut dalam cerita hidupnya, perasaan haru membuatku tak sanggup lagi menahan airmata yang perlahan mulai membasahi pipiku. Ku peluk erat tubuhnya, tak tega rasanya ku melihatnya.
”Yang sabar ya Mir,” bisikku lirih. ”Ya Vit, apapun yang terjadi aku akan tetap jalani hidup ini,” jawabnya sambil melepaskan pelukanku dan megulurkan jam tangan antik miliknya. Belum sempat ku ucapkan rasa terimakasihku, ia terlebih dulu pergi meninggalkanku. Aku ngga’ tahu apa yang ada di benaknya. Ku lihat jam tangan antik darinya, waktu sudah menunjukkan jam 10.00 aku pun harus cepat-cepat pergi menuju kantor Sinar Mentari, salah satu surat kabar yang ada di kotaku.
Sampai di kantor aku dikejutkan oleh berita pencurian di toko Elektronik Rezeki dan menewaskan dua orang karyawan. Dari hasil sementara yang dikabarkan oleh beberapa awak redaksi yang sudah berada di tempat kejadian, peristiwa itu terjadi sekitar jam 2 pagi dan dilakukan oleh sekawanan penjahat bersenjata api berjumlah 5 orang.
Lalu aku kembali ke meja ku, di
Rasa haus, membuatku keluar ruangan.
Sampai di lantai bawah, redaktur yang tadi meliput berita pencurian di Toko
Rezeki baru tiba. Setelah ku baca hasil liputannya, aku sangat terkejut. Di
Sebenernya aku ngga percaya dengan
berita itu, tapi itu merupakan berita yang nyata dan fakta. “Serius banget Mba
bacanya,” suara Deni mengagetkanku. “Eh ngga,
ini menarik aja untuk dibaca,” jawabku. Aku bawa fotokopian artikel itu ke Meja
ku, lalu aku telpon ibuku di rumah. “Ibu, ada berita tentang Mirna,” kataku memberitahu
Ibu. “
Setelah menutup pembicaraan dengan Ibuku, sejenak aku termenung. Ya, hidup memang tak selalu seperti apa yang kita harapkan, tak semudah yang kita bayangkan. Mungkin karena terbentur persoalan hiduplah yang membuat Mirna sampai tergelincir ke dalam lembah kejahatan. Beban hidup yang begitu beratnya harus ia jalani sendiri. Sahabatku, semoga Tuhan selalu memaafkanmu dan menuntunmu ke jalan lurus-Nya.
********************
Baca juga Cerpen: Nasib Perempuan Desa
Lamunanku kembali ke masa aku kecil. ”Vita, cita-cita kamu apa?” tanya Mirna. ”Psikiater. Enak bisa nasehatin orang yang lagi sedih, bisa buat orang tersenyum dan tertawa,” balasku. ”Kalau cita-cita kamu apa Mir?” tambahku. ”Bahagia ya kalau dunia ini isinya orang-orang yang selalu tersenyum, ngga ada orang yang bersedih. Aku dukung dech cita-cita kamu,” balasnya. ”Kalau aku pinginnya jadi orang yang berguna dan tidak mudah cengeng,” tambahnya.
”Mae, tadi di sekolah, besok aku disuruh bayar uang pembangunan,” kata Mirna pada Ibunya. ”Apa harus besok Mir, Mae belum ada uang, jualan nasi goreng Mae kurang laku,” jawab Mae. ”Kata Pak Harnyo kalau bisa besok kalau belum ada uang paling lambat tiga hari setelah hari ini Mak,” sahutku. ”Doakan saja Mak mu ini mudah-mudahan bisa bayar uang pembangunan besok,” jawab Emak.
”Mir kok ngga’ semangat?” tanyaku. ”Emak belum ada uang buat bayar uang pembangunan,” jawabya. ”Nasi goreng Emak kurang laku ya?” tanyaku menambahi. ”Iya,” jawabnya.
Dan peristiwa itu terjadi, pukul 11malam rumah Mirna kebakaran, waktu Mirna menginap dan belajar kelompok di rumahku. Emak dan dua orang adiknya ikut terlahap si jago merah. Mirna langsung pingsan ketika dia mendengar berita duka itu.
Tanah pemakaman itu masih basah ketika Mirna hendak pergi merantau ke Ibu kota. Mirna pamit kepada Bapak dan Ibuku, kemudian Bapak mengantarnya sampai ke stasiun. Mirna pun berlalu meninggalkan kota ini.
Baca juga Cerpen: Malaikat Bersayap Patah
No comments:
Post a Comment