Keputusan Terakhir - Meeting berakhir. Metha melirik jam tangannya pukul 14.00, bergegas ia keluar menuju ruangan kerjanya. Dengan cekatan ia memberesi meja yang berantakan. Segera ia meraih hand bag dan sebentar kemudian tampak panther hijau lumut meluncur ke barat membawa Metha ke rumah sang ayah. Paras ayu Metha begitu kusut, mata yang biasa memancarkan keceriaan sekarang tampak sayu. Berkali-kali ia menghela nafas panjang, kelihatannya Metha tengah dirundung persoalan yang menyesakkan.
“Hai nduk, kok mukamu kelihatan kusut sekali, kenapa ?“ Sapa ayah begitu Metha muncul di beranda belakang ketika ia sedang membaca koran sembari mendengar tembang-tembang kenangan. Metha mencoba tersenyum, namun itu tak mampu menolong dirinya menyembunyikan kegalauan hati di hadapan sang ayah.
“Ada masalah apa lagi to nduk ?”. tanya ayah lebih lanjut.
Metha menatap wajah teduh sang ayah. Andai saja masih kanak-kanak tentu ia sudah menghambur dalam pelukan ayah.
“Jadi berangkat minggu depan, nduk ?” tanya ayah tenang.
“Ayah keberatan ?” desis Metha ragu. Ayah terseyum kecil.
“Mestinya pertanyaan itu untuk Hendro, suamimu,“ sahut ayah.
“Hendro tidak keberatan kok, yah”. “Menjadi seorang manager di Surabaya telah lama menjadi impian saya. Mas Hendro tahu itu dan ia mendukung keputusan saya. Kami telah merencanakan bertemu dua minggu sekali di Semarang atau di Surabaya. Angga dan Iffah tetap sekolah di Semarang atau dengan mas Hendro. Sedangkan si kecil Ari saya bawa ke Surabaya bersama baby sisternya”. jawab metha panjang lebar.
“Lalu apa yang dipermasalahkan, nduk ?”. tanya ayah lagi. Metha melirik ayah sekilas.
“Bulik Marni, yah. Ia menentang rencana saya habis-habisan. Bahkan ia menawarkan bantuan finansial asal keluarga kami tidak berpisah,”. Lirik Metha mengeluh.
“Hendro tahu hal itu ?”. Tanya ayah perasaan.
“Mas Hendro, yah ? tahu apa dia?. Paling kalau diberi tahu dia pasti hanya akan menjawab semua terserah kamu”. Sahut Metha sengit. Ia kelihatan betul-betul kesal mendapat pertanyaan barusan.
“Met, ayah dapat merasakan kerisauanmu. Bertahun-tahun kau bekerja keras untuk meraih posisi itu. Ketika kesempatan itu kau raih justru malah bulik Marni tidak merestui keputusanmu. Ayah juga mengerti tentu engkau segan menentang bulik Marni, karena dialah yang merawatmu sejak kecil semenjak ibumu meninggal,” tutur ayah hati-hati.
Ia menarik nafas sebentar sebelum melanjutkan pembicaraannya. “Sebenarnya ayah juga tidak ingin mencampuri urusan rumah tanggamu terlalu jauh, nduk. Oleh karena itu cobalah bicarakan hal ini secara baik-baik dengan Hendro”. “Yah, enam belas tahun saya mendampingi mas Hendro, namun saya tidak pernah mampu memahaminya”. Ia tidak pernah memenuhi harapan saya. Ia tidak bertanggung jawab, ia …….ia….” Metha tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Tangisnya pecah, ayah menepuk bahu Metha dan mencoba untuk menenangkannya. "Nduk, memahami pasangan hidup kita memang tidak mudah. Kita harus melakukannya terus menerus sepanjang usia perkawinan kita. Bahkan tidak jarang ketika pasangan kita dipanggil Illahi sekalipun, kita belum tentu juga dapat memahami siapa dia sesungguhnya.
Nah, cobalah membicarakan hal itu dengan Hendro. Siapa tahu dari masalah ini pemahaman kalian terhadap satu sama lain akan semakin terang. Ajak juga Angga dan Iffah bicara. Mereka berhak dilibatkan karena keputusanmu itu berdampak juga terhadap masa depan dan kehidupan mereka. Tanyakan apakah mereka bersedia denganmu, ibunya”. Hening, Metha tidak menyahut kalimat ayah.
Ia menyusut air matanya dengan tissue. Helaan nafasnya terdengar begitu berat, seberat kekecewaan menyelimuti hatinya karena semula ia sangat berharap ayah akan membantu memecahkan masalahnya. Tapi beberapa saat kemudian ketika Metha telah berhasil menguasai diri, ia pun langsung pamit pulang.
********************
Lima belas tahun lalu Metha dan Hendro berikrar mengarungi samudera kehidupan bersama. Kala itu Hendro seorang insiyur muda yang tengah membangun karirnya di sebuah perusahaan elektronik ternama. Sementara Metha bekerja pada sebuah BUMN. Kini tiga anak meramaikan rumah tangga mereka. Namun Metha merasa sampai detik ini ia tidak pernah mampu memahami keinginan Hendro. Di mata Metha, Hendro adalah sosok laki-laki yang kurang bertanggung jawab, pasif dan penurut. Bayangkan belasan tahun bekerja Hendro baru dua kali naik jabatan. Itu pun atas campur tangan Metha yang selalu aktif menanyakan peluang yang ada pada habib atasan Hendro.
Baca Juga Cerpen: Malaikat Bersayap Patah
Kebetulan Habib adalah teman seangkatannya ketika kuliah dulu. Sebetulnya Hendro tidak bodoh, hanya saja ia selalu tidak pernah mau memanfaatkan peluang yang ada. Berkali-kali sudah dengan halus Metha mengutarakan bahwa kesejahteraan keluarga lebih banyak bertumpu pada penghasilannya. Metha berharap dengan selalu menyampaikan keadaan ini, dia akan tergugah untuk dapat memperjuangkan karirnya, namun Hendro tetap santai saja dan seakan-akan tidak pernah tergugah hatinya.
“Kamu saja yang jadi Manager. Biar aku dapat membanggakan istriku yang hebat ini”. Ujar Hendro tanpa beban. Saat Metha membicarakan peluang Hendro menjadi Manager di kantornya dan seketika itu bukan main kecewa hati Metha. Lamunan Metha buyar seketika mobil yang membawanya memasuki halaman rumah. Suasana begitu sepi, mungkin anak-anak sedang belajar di lantai atas.
Dengan tergesa-gesa Metha menuju kamarnya. Perutnya terasa mulas dan ia merasa pakaian dalamnya basah. Wajar saja karena memang hari ini saatnya kedatangan tamu bulanan. Metha mengaduk-aduk laci almari mencari pembalut. “Cari apa sich, Met ?” Tanya Hendro yang tiba-tiba muncul. “Pembalut. Rasanya aku masih menyimpannya”. “O… sorry aku berikan pembalut itu pada Iffah sore tadi karena ia mendapatkan haidnya yang pertama”. “Iffah haid, mas ?”. Tanya Metha kaget. “Iya, tadi ia menangis ketakutan. Aku jelaskan bahwa itu merupakan kejadian alami yang dialami setiap wanita. Aku ajari dia cara menggunakan pembalut. Tapi, sekarang ia sudah tenang kok”. Dheg ! Metha tersentak.
Baca Juga Cerpen: Nasib Perempuan Desa
Penjelasan Hendro barusan serasa menikam hatinya. Kepedihan menyeruak diantara aliran perasaan bersalah, dulu ia menyambut haid pertama penuh kebanggaan sebagai wanita dewasa. Sejak berusia 8 tahun bulik Marni selalu membimbingnya dalam memahami alat-alat reproduksinya. Sedangkan sekarang justru malah anaknya sendiri Iffah menangis ketakutan mendapatkan haid pertamanya. Lebih pedih lagi Iffah hanya ditemani ayahnya. Mas Hendrolah yang menjelaskan cara mengenakan pembalut. Ya Allah, ibu macam apa aku ini ? apa yang sudah aku berikan pada putriku ? jerit batin Metha pilu.
Tanpa disadari tiba-tiba butir-butir air mata meleleh di pipi Metha. Lututnya gemetar dan tubuhnya terasa lemas. Reflek Hendro meraih pinggangnya. “Ibu macam apa aku ini, mas?". Gemetar suara Metha menahan kepedihannya. “Sudah, sudahlah jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, Met. nggak baik lagian juga semua sudah teratasi. Iffah sudah tenang, kok. Hibur Hendro berusaha menetramkan. Tangis Metha semakin deras. Ia menyurukkan kepalanya di dada Hendro.
“Sudahlah Met, sekarang mandi dan makanlah. Setelah itu ajak Iffah ngobrol agar dia lebih memahami keadaannya. Aku akan memeriksa PR Angga dulu,“ Bisik Hendro dengan suara halus setelah tangis Metha reda.. Malam telah melewati pertengahan namun Metha belum mampu memejamkan matanya. Ia masih merasakan kehampaan yang luar biasa. Kenangan-kenangan masa silam masih silih berganti memenuhi benaknya. Begitu banyak keputusan yang ia ambil hanya untuk karirnya, sementara perannya sebagai ibu bagi anak-anaknya malah terhambat dan lebih banyak digantikan Hendro. Mungkinkah keengganan mas Hendro memperjuangkan karirnya di kantor karena ia tidak ingin anak-anak terlantar? pertanyaan itu tiba-tiba berkelebat di benak Metha. Kalau benar demikian. Metha langsung menatap Hendro yang sudah terlelap di sampingnya.
Baca Juga Cerpen: Aku dan Sahabatku
”Mas Hendro, begitu banyak sisi yang tidak aku pahami darimu, Mungkin demikian juga engkau tidak dapat memahami aku,” Gumam Metha dalam hati. Metha menatap foto keluarga yang tergantung di dinding. Suami dan anak-anaknya setiap hari berada didekatnya. Namun, malam ini ia merasa begitu jauh dari mereka. Ia tidak pernah tahu apa keinginan mereka, apa yang mereka harapkan dari dirinya. Ah, apa yang sebenarnya terjadi pada diriku ya Allah ?. Keluh Metha matanya yang sembab terus memandangi foto keluarga sebelum terlelap dari tidurnya sebuah keputusan telah diambilnya. Ia tidak jadi berangkat ke Surabaya meskipun sebenarnya posisi itu, merupakan suatu kesempatan emas. Namun ia berjanji akan membayar kelalaiannya selama ini. Dan sekarang prinsipnya berubah, suami dan anak-anaknya justru lebih penting dari pada karirnya.
Cerpen pernah dimuat di Buletin LiKSA (Lingkar Kajian Sastra Justisia)
Ditulis oleh Rohmi Arifah
No comments:
Post a Comment