Malaikat Bersayap Patah

Rouf Creative | Creative Graphic Design

Cerpen Malaikat bersayap patah

Malaikat Bersayap Patah
(Sebuah Karya Sastra Penggugah Jiwa)


Camelia adalah seorang perempuan yang tak pernah kehilangan semangat juangnya demi kesejahteraan rakyat, bagaikan malaikat bersayap patah, meskipun telah mati, namun semangat perjuangannya tak pernah berhenti. Masa hidupnya telah ia abdikan untuk membela wong cilik. Melawan penindasan dan ketidakadilan. Namun, kematian telah merenggut semua impian dan harapan.


Sang mentari mulai kelelahan menampakkan wajahnya, dan awan pun tak lagi menawan. Jiwaku terperangkap sepi, menahan rasa sedih yang terus melukai hati. Senyumku kini telah tergadaikan tangis melihat kepergian seorang yang berarti dalam hidupku. Tanganku tanpa lelah mengusap airmata yang menetes di pipi. 

Ku pandangi gundukan tanah merah nan basah, bertaburkan bunga duka yang kian menyayat hati. Aroma kembang itu perlahan menuntun ke alam jiwaku, antara keraguanku dan ketidakpercayaanku. Aku belum sampai pada titik kesadaran bahwa seseorang yang terbaring dibalik gundukan tanah merah basah di hadapanku adalah sahabatku. Bukan sekedar sahabat, tapi juga pahlawanku. 

Camelia, seorang perempuan yang tak pernah kehilangan semangat juangnya demi kesejahteraan rakyat. Masa hidupnya telah ia abdikan untuk membela wong cilik, melawan penindasan dan ketidakadilan. Namun kematian telah merenggut semua impian dan harapan.


********************

Satu jam sudah aku berada di pemakaman, duduk sambil membelai batu nisan di depanku. Hari mulai senja, teman-teman pun mulai terdiam, ketika seorang laki-laki tua melangkah maju memimpin bacaan tahlil dan doa suci untuk Almarhumah. Namun aku tak sanggup melakukannya, aku hanya bisa diam, meratapi kepergian sahabat dekatku. Aku memang sengaja tak ikut mendoakannya. Karena aku belum bisa menerima ketiadaannya dan aku yakin Lia masih bernyawa.

Tiba-tiba dadaku terasa sesak, pandanganku kabur dan bumi tempatku berpijak terasa berputar. Sedetik kemudian aku berada di deretan perumahan desa. Kawan-kawan yang sering pergi bersamaku tak lagi nampak. Aku benar-benar merasa sendirian. Mereka entah pergi kemana. Aku merasa mereka benar-benar barada di suatu tempat yang jauh. Tempat yang sulit aku gapai. 

Dan desa ini ….ah! bukankah dasa ini desa yang beberapa saat lalu ku kunjungi. Bahkan sering sekali. Yah…! Tidak salah. Ini adalah desa keraguan. Tapi kenapa aku tiba-tiba ada disini…? Bukankah aku sudah berjanji melupakan desa ini dengan semua penduduknya setelah aku gagal membangkitkan kesadaran mereka untuk berani menuntut hak-hak nya? Aneh…! Tiba-tiba aku berada disini lagi!
“Anisa... cepat!”. Teriakan itu mengagetkan terketegunan dan keherananku.
“Lho...kau disini Lia?”ucapku merefleksikan keheranan demi keheranan beruntut tak terjawab.

“Sudahlah, jangan banyak Tanya! Rumah pak Din masih sangat jauh, beliau pasti cemas menanti kita, cepat sedikit jalannya...!”
“Sama siapa kau disini?”. Tanya ku sambil berjalan.
“Sendiri, tapi sebelum aku tiba, katanya Marsinah juga telah berada disini bersama teman-teman lain”
“Marsinah,,,,? Buruh dari Surabaya itu?” tanyaku sambil terheran.
“Iya kasus penggelapan uang rakyat ini kan sudah tersosialisasikan lama “ jawab Lia tanpa ekspresi.
“Kulihat ada yang beda padamu hari ini“ komentarku setelah mengamati pakaian Lia yang serba putih” sejak kapan kau suka warna putih ?”

“Sejak aku menyadari udara panas negeri ini. Hanya dengan warna putih inilah aku dapat mengurangi intensitas panas...” jawab Lia diantara langkah-langkah kakinya.
“Lalu kenapa kau masih suka warna hitam-hitam?” tanya Lia.
“Kalau itu sih sebagai tanda berkabung”, jawabku sambil menendang kerikil di tepi jalan.”
Sebab negeri ini banyak mengalami kematian-kematian berbicara, berpendapat, berkumpul, berserikat, keadilan, kejujuran. Semua telah mati...!

Benar kata Lia. Di rumah Pak Din telah berkumpul banyak orang kulihat Marsinah melambaikan tangan pada kami. Sejurus kemudian aku dan Lia sudah bergabung dengan mereka.”jangan biarkan penguasa bertindak sewenang-sewenang terhadap rakyat...!” kata Marsinah tegas.
“Lalu kami harus bagaimana?” tanya seorang petani.
“Pertama, kita harus menyadari bahwa kita adalah rakyat sah negeri ini. ”Kata Lia” kita yang berkuasa atas negeri ini, karena kedaulatan ada ditangan rakyat. Kedua, bahwa menegakkan kebenaran harus diyakini sebagai perintah Tuhan maka dalam hal mempertahankan dan merebut hak termasuk sebagai realisasi nyata dari keimanan kita terhadap Tuhan...”

Lia berhenti sejenak. Ia memperhatikan reaksi peserta. Yakin massa dapat memahami yang dikatakanya, Lia meneruskan. “Ketiga, segala bentuk kesewenang-wenangan bukanlah takdir Tuhan. Itu penindasan. Titik! Ini harus kita yakini! Sebab penindasan yang terjadi adalah karena sistem dan stuktur sosial di negeri ini yang memang bersikap eksploitatif, menghisap dan memperkosa. Maka akibatya tata hukum dan perundang-undangan yang ada tidak dapat dijadikan sandaran keadilan bagi rakyat.

Tetapi justru sebaliknya, segala pranata kehidupan malah dapat dijadikan sebagai justifikasi bagi tindakan menindas oleh penguasa,,,! Dalam hati aku semakin heran, aku tidak dapat percaya Lia berubah seperti ini. Beberapa lalu aku masih melihat Lia sebagai mahasiswi yang manis, laksana bidadari manja yang tak pernah sanggup menuntut apalagi membrontak. Namun, Bidadari itu kini telah berubah.

“Aneh, bener-bener aneh. Pesulap agung dari mana yang mampu merubah Lia yang manis dan pendiam menjadi begini revolusioner dan berkarakter. Ah, entahlah...!”
“Keempat “ Lia melanjutkan “setelah kita meyakini bahwa penindasan itu bukan takdir Tuhan maka kita wajib melawanya, karena keadaan ini tidak akan berubah jika tidak kita usahakan sendiri, penguasa yang menindas dan menghisap tidak mungkin akan memberikan hak-hak kita, demokrasi kita, kecuali kita merebutnya.

“Kan kita lemah apa kita mampu?” Tanya seorang anak muda yang mulai mempunyai kesadaran perlawanan.
“Kalau kita sendiri-sendiri, tercerai berai, memang lemah, tapi jika kita bersatu, maka kekuatan rakyat adalah kekuatan Tuhan...!” jawab Lia.
“Tapi kami tidak punya pemimpin yang menjadi pelopor bagi perjuangan ini...”kata anak muda masih setengah bertanya.
“ Anisa cepat jelaskan...!” bisik Marsinah padaku.
“Baiklah saudara” aku ambil alih pembincaraan.
“Sebenarnya kita semua bisa menjadi pemimpin dan pelopor pergerakan. Bahkan harus! sebab didalam diri kita terdapat jiwa pemimpin yang besar, ingatlah bahwa kita dapat menjadi pelopor peradaban yang manusia transcendental,” perintahku mengingatkannya.

“Caranya?”  tutur pemuda berkumis. “ya bisa dengan memaksimalkan fungsi dan daya kerja akal serta nurani. Akal itu dapat bekerja merumuskan masalah kita, menentukan taktik dan strategi serta perjuangan dan hal-hal yang lain yang bersifat rasional. Sedang nurani akan menjadi control bagi kerja-kerja. Didalam nurani inilah tersimpan kualitas dasar hakekat Tuhan dan manusia. Dengan bertemunya akal dan nurani manusia akan menjadi sebuah perwujudan lain dari Tuhan. Sehingga kita semua selalu siap dan dapt menjadi pemimpin baik untuk diri sendiri maupun pemimpin bagi alam semesta ini,” terangnya panjang lebar.


********************

Baca Juga: 

Usai pertemuan di rumah Pak Din aku jalan-jalan sendirian menyusuri gang-gang rumah penduduk. Aku berusaha mengingat-ingat tentang diriku, Lia, juga Marsinah. Dan sungguh memang aneh! Desa ini berwarna putih seperti hari-hari berkabut. Matahari, apalagi tidak menampakkan wajahnya sama sekali. “Orang-orang disini semua berpakaian putih, kecuali aku,” beber batinku. Tak ada bau aroma yang memasak, aroma rokok. Dimana-mana aku cium aroma yang... Ah, aku tidak tau aroma apa ini, tapi aku seperti pernah mencium dan sering menciumnya. 

Aku mulai ingat, bukankah aku kemarin pergi tak’ziah ketempat Camelia. Lho tapi Camelia belum mati. Tidak salah, tadi itu Camelia. Lalu kenapa tiba-tiba jadi begini? Aduh... pusing. Nah didepan itu ada batu di bawah pohon. Aku duduk saja disana. Biarlah tugasku menghubungi massa ke luar kota kutunda dulu, aku ingin menguak misteri keganjilan ini.

Marsinah? oh ya, dia kan juga sudah mati. Ah...! Tidak...! Aku yakin dia masih hidup, Marsinah masih hidup diantara rakyat negeri ini. Aku tidak salah lihat. Perempuan yang semangat membangkitkan kesadaran berlawan rakyat tadi Marsinah, lalu apakah aku berada di alam halus? Alam kubur? Atau alam arwah? 

Tidak mungkin! mustahil. Masak di alam lelembut ada penindasan dan pembantaian. Hanya ada di alam nyata, manusia. Hanya manusia serakah dan biadab penyebab penindasan. Apalagi orang seperti itu menduduki kekuasaan. Disatu sisi rakyat pasif yang tidak punya kesadaran dan keberanian berlawan karena pertimbangan pragmatis-oportunis juga menjadi sebab langgengnya praktek-praktek penidasan penguasa atas rakyat.

Ah...sudahlah...! dimanapun kini aku berada, di alam apapun, selama bentuk dan praktek-praktek perendahan martabat kemanusiaan terjadi, tetap harus dilawan. Camelia, Marsinah, dan lainnya memancarkan jiwa suci yang selalu menebarkan kedamaian dunia, bagaikan malaikat bersayap patah, meskipun mereka telah mati, namun semangat perjuangan mereka tak pernah berhenti. Mereka tetap menjadi inspirator para pejuang penegak keadilan. Baiklah, aku harus mengerjakan tugasku sebagai penghubung massa ke luar kota. Sampai ketemu besok dalam aksi pembelaan rakyat nusantara.

Creative Inspiration

No comments: