Wajah Islam Hibrida; Akar-Akar Kultural Pembentuk Identitas Islam

Rouf Creative | Creative Graphic Design

Islam Hibrida

Sebuah Karya yang Menggemparkan Jagad Pemikiran Islam

Islam Hibrida

Dengan meleburkan simbol-simbol, tanggal-tanggal, serta ritus-ritus agama lama ke adat istiadat agama baru yang sedang tumbuh maka, nabi baru (sebagai pembawa agama baru) telah menciptakan sejenis agama hybrid yang diterima kedua belah pihak (pengikut agama lama dan pengikutnya). [Dan Brown, The Da Vinci Code].

Wajah Islam Hibrida; Akar-Akar Kultural Pembentuk Identitas Islam. Apa yang diutarakan Dan Brown di atas, bagi sebagian orang mungkin sangat kontroversial. Di sebagian negara Eropa film The Da Vinci Code dilarang diputar, buku-bukunya karya Brown dibakar dan tidak diperbolehkan untuk disebarkan. Beruntung saya dan kita masih bisa menikmati baik buku maupun filmnya. 

Meskipun demikian, Brown telah memberikan gambaran atau cermin yang cukup layak dijadikan sebagai bahan refleksi umat beragama. Bahan perenungan itu terkait dengan asal-usul kehadiran agama dan bagaimana menghadirkannya pada masa kini.

Wajah Islam Hibrida

Hal yang kali pertama harus kita sadari bersama adalah meski diyakini sebagai wahyu Tuhan, agama tidak mampu berkelit dari kenyataan bahwa dalam prosesnya, ada dimensi kemanusiaan dan lokalitas yang ikut mempengaruhinya. Dan, kehadiran agama yang penuh dengan nuansa lokalitas, justru semakin meneguhkan tesis bahwa agama hadir untuk manusia, bukan Tuhan. Atas dasar itu, agama selalu meniscayakan kerja-kerja kebudayaan.



Relasi antara agama dan lokalitas atau budaya lokal biasanya menekankan pada aspek agama yang dipahami sebagai ekspresi kebudayaan sebuah masyarakat. Wilayah demografi yang berbeda-beda menjadikan kebudayaan semakin bervariatif. Semuanya mempunyai konsepsi yang beragam tentang agama. Dengan demikian agama dalam kajian kebudayaan menempati wilayah antropologis dan sosiologis. Sifat empirislah yang biasanya jadi titik kajian mengenai agama dilihat dari kacamata budaya.

Dengan menggunakan perspektif ini bisa dikatakan bahwa agama sesungguhnya adalah entitas yang historis meski didalamnya ada kehendak Tuhan yang suprahistoris. Agama itu sendiri historis karena diturunkan dalam masa tertentu dan hadir dalam lanskap yang bisa terdeteksi. Lahirnya Islam di wilayah Arab dengan memakai bahasa Arab, seperti halnya yang terdapat pada tradisi agama-agama lain. Semuanya menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia.

Jika dirunut dari sejarah kemunculannya, kehadiran agama sebagai sebuah sistem kepercayaan, sudah muncul sejak ada manusia itu sendiri, mulai dari kepercayaan yang paling tradisional seperti animisme, dinamisme sampai pada agama yang terlembagakan. Bahkan, agama dan berbagai bentuk kepercayaan, keberadaannya jauh sebelum ada institusi yang bernama negara.

Kemunculan agama justru berdekatan bahkan hadir setelah manusia membentuk budayanya. Kebudayaan itulah yang menjadi inspirasi bagi terbentuknya berbagai doktrin keagamaan. Bahkan tak jarang budaya masyarakat tertentu dicangkok untuk kemudian dijadikan sebagai bagian dari doktrin sebuah agama. Dus, ajaran yang ada dalam agama tidak lain adalah hasil cangkokan dari berbagai tradisi yang berkembang dalam sebuah masyarakat.

Akar-Akar Kultural Pembentuk Identitas Islam

Islam merupakan satu dari sekian agama yang juga hasil cangkokan dari tradisi lokal masyarakat. Tak terkecuali apa yang sekarang ini menjadi ajaran agama Islam. Semuanya adalah hasil amalgamasi dari berbagai budaya yang berkembang. Ini sekaligus untuk membantah klaim sekelompok umat Islam yang seringkali menganggap bahwa Islam berasal dari satu budaya atau monolitik.

Dalam sebuah orasi ilmiah di Taman Ismail Marzuki 2001 silam, (alm) Nurcholis Madjid (Cak Nur) mengatakan bahwa sebuah Budaya Islam bersifat amalgam, atau hibrida dari berbagai budaya. Contoh yang paling sederhana adalah masjid. Di Pondok Indah, kata Cak Nur ada masjid yang masyarakat setempat sering menyebutnya sebagai Masjid Biru. Didesain tanpa mihrab atau tempat untuk imam, hal ini disebabkan karena sang arsitek menganggap bahwa mihrab adalah tiruan dari gereja. 

Tapi kalau konsekwen, artinya tidak mengadaptasi budaya agama lain, maka mestinya tidak ada menaranya. Karena menara merupakan budaya dari arsitektur Persia atau orang Majusi. Maka dengan demikian, Islam atau budaya dianggap sebagai Islami, bukan berasal  hanya dari satu suku masyarakat tertentu saja. 

Islam terbuka untuk mengakomodasi beragam kebudayaan selagi dapat mempertahankan dan mengembangkan universalitas nilai keislaman. Strategi itulah yang dipakai oleh para penyebar agama Islam di Nusantara dan khususnya di tanah Jawa. Seperti halnya dakwah Walisongo, bersyi'ar tanpa menghilangkan kearifan lokal. Menghadirkan Islam dengan wajah budaya lokal karena Islam agama hibrida.

Baca Juga: Rekonstruksi Agama Humanis

‘Ala kulli hal, ini menunjukan bahwa Islam adalah agama yang lahir dari hasil dialektika antara kehendak Tuhan dan kebudayaan manusia. Hal itulah yang kemudian banyak yang menginginkan supaya dimensi partikular yang terdapat pada Islam terpisah dari universalitasnya.

Alangkah lebih bijak apabila tradisi yang sudah berkontribusi untuk peradaban Islam dibaca kembali dengan menggunakan perspektif kekinian. Karena perubahan waktu dan tempat dapat mempengaruhi sudut pandang terhadap agama, terpenting tetap mempertahankan semangat dan nilai moral agama.

Creative Inspiration

No comments: