Resensi
Judul Buku :
Renungan Santri, Dari Jihad Hingga Kritik Wacana Agama
Penulis :
Rumadi
Penerbit :
Erlangga Jakarta
Cetakan :
I, Maret 2007
Tebal :
286 halaman
Santri Mengkritik Agama
Ketika Santri Mengkritik Agama - Dewasa ini, santri menjadi identitas yang menarik diperbincangkan. Bukan saja karena anggapan sebagai kaum sarungan yang tradisional, atau orang yang menghuni “kawah candradimuka” pesantren, tetapi juga karena ada sebagian santri yang memiliki keberanian dalam mengritik Islam dengan metodologi-metodologi kontemporer.
Para santri mulai berani melakukan kritik dan mendekonstruksi pemahaman keagamaan yang “mapan”. Mereka tak segan-segan meruntuhkan hegemoni wacana yang selama ini dipegang kuat oleh masyarakat pada umumnya. Nur Khalik Ridwan (2004) mengistilahkan para santri kritis ini sebagai “santri baru”.
Tentu saja kenyataan para santri yang kritis itu ingin mempersoalkan bagaimana posisi agama. Apakah sebagai doktrin ataukah realitas yang selalu berubah? Jika dianggap sebagai doktrin, maka agama adalah serangkaian “wacana” yang statis dan tidak boleh diubah-ubah apalagi untuk dikritisi. Misalnya saja kita hanya perlu melakukan ritualitas atau ibadah-ibadah kepada Tuhan agar mendapatkan “balasan” pada saatnya nanti. Atau sekadar mengikuti apa yang telah digariskan oleh para ulama klasik sehingga kita memperoleh tuntunan ke arah sana.
Berbeda misalnya jika agama dipahami sebagai sebuah realitas. Tidak ada teks yang terlepas dari konteks. Maka kemudian posisi Kitab Suci berhak untuk dikritisi karena harus dilihat bagaimana esensi atau “maksud” diturunkannya ayat per ayatnya. Maka agama bukanlah sesuatu yang statis dan tidak berubah, melainkan harus selalu kontekstual sehingga bisa memberikan kontribusi terhadap masyarakat. Umumnya kaum inilah yang dianggap sebagai kaum liberal, sekuler dan pro Barat.
Melalui buku ini, Rumadi, yang juga seorang santri, membahas secara rinci bagaimana pola nalar dan praksis para santri kini. Menurut Rumadi, memang benar, saat ini santri memiliki arah kecenderungan yang berbeda, baik dalam tingkat pemikiran maupun praksis keagamaan. Di satu sisi, ada santri kritis yang melakukan pembacaan terhadap realitas secara lebih elegan, kontekstual, dan kritis. Secara nalar, model santri ini memilki daya kritis untuk melakukan dekonstruksi maupun rekonstruksi atas berbagai wacana keislaman yang ada. Model santri inilah yang acap diberi stempel murtad, keluar dari Islam dan sebagainya.
Ada agenda-agenda besar yang ingin diperjuangkan model santri ini. Misalnya saja bagaimana menciptakan tatanan masyarakat yang demokratis. Karena pada umumnya santri model ini memiliki pola penalaran yang lebih “terbuka”, yakni dengan melihat realitas secara menyeluruh. Islam bukanlah agama yang menolak segala perubahan, melainkan bagaimana menyikapi perubahan itu dengan arif dan bijak.
Karenanya model santri semacam ini tidak menutup atas berbagai “wacana” yang datang dari Barat sebagai pemegang kunci peradaban saat ini. Misalnya gender, demokrasi, pluralisme dan sebagainya. Bukan berarti konsep-konsep itu diterapkan secara taken for granted, melainkan tetapi ada budaya kritisisme di dalamnya.
Di dalam buku setebal 286 halaman ini, Rumadi juga memberikan pemaparan yang cukup memukau terhadap beberapa tokoh yang dianggapnya sebagai “idola” bagi para santri kritis ini. Mereka antara lain adalah Nasr Hamd Abu Zayd dan Muhammad Syahrur. Kedua pemikir itu dianggap sebagai pendobrak bagi pola pikir santri yang awalnya tradisional-konservatif menjadi kritis meski tetap menjaga “ketradisionalannya”. Tokoh-tokoh ini tentu bukan tokoh yang pure Islam, tetapi telah “terkontaminasi” dengan peradaban Barat, terutama dalam “membaca” atau menafsirkan Islam.
Pemikiran-pemikiran tokoh ini sangat berguna untuk menghadirkan Islam secara lebih santun dan humanis sehingga tidak terjebak pada radikalisme. Secara teologis misalnya, pemikiran Nasr Hamd Abu Zayd mengenai Kritik Wacana Agama mampu mendekontruksi pemahaman keagamaan yang dianggap sebagai “yang terbenar”, sesuai syari’at Tuhan, dan sebagainya (hlm. 124). Sementara itu Muhammad Syahrur merupakan penyumbang besar atas metodologi dalam pemikiran keislaman yang sangat baik, khususnya dalam khasanah ilmu-ilmu al-Qur’an. Kehadiran tokoh-tokoh ini memberikan nuansa baru bagi pengembangan pemikiran para santri di pondok pesantren dan tempat-tempat lain.
Bukan berarti semua santri berpikiran kritis, di pihak lain para santri justru terjebak dalam problem dogmatis. Tidak jarang mereka ini menjadi roda penggerak terorisme karena menganggap aktivitas teror itu sebagai “jihad”. Atau paling tidak melakukan gerakan radikal dan anarkis seperti yang akhir-akhir ini terjadi. Model santri kedua ini memiliki semangat memperjuangkan Islam secara sempurna (kaffah), sehingga nilai-nilai, ajaran-ajaran, atau budaya-budaya yang tidak ada atau tidak dibolehkan dalam Islam benar-benar ditentang. Umumnya pola pikir semacam ini menjadikan mereka sangat “tertutup” dan cenderung mengaku sebagai yang terbenar.
Baca Juga: Rekonstruksi Agama Humanis
Kritik Sosial
Kritik para santri ini tidak saja berkisar pada pola-pola keislaman baru, tetapi juga tentang sistem sosial, sistem internasional yang menindas dan teologi baru yang dibawa oleh para “santri baru”. Tak ayal, dengan pola pemikiran dan aksi yang berbeda antara santri model pertama dan kedua sering tidak “nyambung” –untuk tidak mengatakan bertentangan.
Dalam bukunya ini penulis juga melakukan upaya rekonstruksi terhadap pemaknaan jihad yang selama ini lebih dipahami sebagai gerakan fisik atau teror oleh para santri. Dengan mengutip Muhammad Syahrur (1994), penulis ingin menempatkan “perang suci” (jihad) pertama-tama sebagai upaya mempertahankan kebebasan beragama dan melawan pemaksaan dalam agama. Dengan kata lain “perang suci” harus diarahkan untuk membela harkat kemanusiaan (human dignity) (hlm.100).
Di satu bab khusus penulis juga memberikan pengalaman ketika mengelola program kerjasama tentang “pendidikan Demokrasi” dengan da’i dan Khatib serta guru Madrasah Aliyah di pondok pesantren. Melalui buku ini kita dapat melihat secara langsung bagaimana tantangan menghadapi dua corak santri yang sangat berbeda. Di satu sisi ada yang getol memperjuangkan Islam melalui Jihad, di sisi lain ada santri yang dengan semangat kritisisme melakukan kajian keislaman yang kadang keluar dari mainstream umat Islam.
Sulitnya menentukan pilihan ini juga ditangkap oleh penulis dengan baik. Di akhir bab penulis memberikan gambaran bagaimana pola-pola keagamaan yang terjadi di negeri ini dengan mengacu pada tingkat kebebasan seperti yang dilakukan oleh lembaga Survei Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, religious freedom.
Baca Juga: Wajah Islam Hibrida; Akar-Akar Kultural Pembentuk Identitas Islam
Kesimpulan
Kehadiran ini buku ini menjadi penting untuk membaca kondisi santri secara lebih genuine dan komprehensif. Berbagai realitas yang dihadapi oleh penulis seolah akan mampu memberikan cerminan sesungguhnya atas berbagai fenomena yang selama ini disematkan kepada sosok santri.
No comments:
Post a Comment